17 Mei, 2009

Formasi Legislatif 2009

Mujaddid Muhas
Tabulasi Komisi Pemilihan Umum menyatakan bahwa Partai Demokrat menjadi jawara. Hasil ini mengkonfirmasi pengumuman quick count yang diselenggarakan oleh sejumlah pollster dengan angka yang tidak terpaut jauh dari yang sesungguhnya. Keunggulan Partai Demokrat pun telah diestimasi sebelumnya dari berbagai survei yang dilaksanakan secara berkala. Realitas menunjukkan 150 kursi diraih Partai Demokrat. Perolehan kursi paling dominan dari partai politik lainnya. Perkembangan ini kemudian makin menguatkan positioning Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kandidat incumbent pada pemilihan presiden mendatang. Kendati kandidat lain tentu masih berpeluang.

Sedangkan bagi parpol selain Partai Demokrat, tampaknya mengalami fluktuasi stagnan bahkan penurunan. Hope or nope. Antara harapan dan faktual, realitas perolehan inilah yang tergambarkan. Pemilih telah melaksanakan hak pilihnya dengan saksama.

Berdasarkan perolehan hasil pemilu legislatif, penulis mencoba membagi kedalam kategorial formasi kursi, dengan menganulir dahulu peta koalisi yang kini terkonsolidasi. Pertama, formasi kursi diatas 50 persen. Partai Golkar yang dalam pemilu 2004, memiliki 128 kursi (23,37 persen) menjadi 19,11 persen menempati 107 kursi. Adapun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengalami hal yang relatif sama: dari 19,82 persen setara 109 kursi menjadi 95 kursi atau 16,96 persen. Kendati demikian perolehan kursi dari kedua parpol tersebut terbilang sebagai parpol papan atas, berikut terutama Partai Demokrat yang mencapai 26,79 persen. Melampaui perolehan kursi pada pemilu 2004 sebesar 10,36 persen.
Kategori kedua pada formasi kursi dibawah 50 persen. Parpol-parpol yang termasuk dalam kategori ini adalah Partai Keadilan Sejahtera 57 kursi (10,18 persen), Partai Amanat Nasional 43 kursi (7,68 persen), Partai Persatuan Pembangunan 37 kursi (6,91 persen), Partai Kebangkitan Bangsa 27 kursi (4,82 persen) serta dua parpol baru yang cukup fenomenal Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Hati Nurani Rakyat yang masing-masing meraih 4,64 persen setara 26 kursi dan 18 kursi (3,21 persen). Sebagaimana terdapat dalam grafik.

Dari gambaran formasi kursi, diperoleh analisa bahwa adanya aturan parliamentary threshold menjadikan formasi kursi legislatif ditempati semakin sedikit parpol. Selain penyederhanaan sistem kepartaian, diasumsikan juga dapat mengisi penuh susunan komisi dari perwakilan fraksi. Ketika seluruh kursi yang diraih masing-masing parpol dapat menjadi masing-masing fraksi. Metamorfosa parpol terjadi di parlemen. Baik fraksi maupun komisi.

Satu Parpol Satu Fraksi
Sebegitu berbedanya terlihat pada pemilu 2004, parpol yang tidak cukup kursinya untuk takaran fraksi, bergabung dalam fraksi yang sama. Menyebabkan “penyesuaian” terhadap sikap fraksi untuk mengakomodasi kepentingan yang ada. Pentingnya melihat setiap parpol adalah representasi fraksi dilandasi oleh spirit untuk memudahkan pengejawantahan visi dan komitmen perjuangan masing-masing parpol. Memangkas perbedaaan prinsip tentang keputusan-keputusan strategis, sewaktu penyampaian sikap fraksi hanya karena visi kepartaian yang berbeda.

Memandang pentingnya satu parpol satu fraksi, dapat menumbuhkan budaya demokrasi yang berkarakter, sikap partai diejawantahkan kedalam sikap fraksi. Sedangkan sikap parpol berasal dari aspirasi dan kehendak publik. Dengan demikian tujuan-tujuan keseimbangan dalam demokrasi baik suara oposisi maupun suara pemerintah di parlemen menghasilkan format check and balances yang terukur dan berkesinambungan. Melalui satu parpol satu fraksi, publik dapat melihat dengan gamblang mana parpol yang sungguh-sungguh memperjuangkan visi dan komitmen kepartaiannya dan mana yang sebaliknya. Mana yang menyuarakan aspirasi mana yang hanya “mendaur ulang” pragmatisme.

Pemilu telah tiga kali diselenggarakan setelah reformasi, publik mendambakan budaya demokrasi yang lebih menampilkan suara aspiratif dan kinerja menjulang progresif. Penyederhanaan sistem kepartaian melalui PT telah dilakukan, tentu saja cemerlang ketika diikuti oleh kualitas legislator yang mumpuni. Lantaran “pengorbanan” terhadap konversi suara 29 parpol yang tidak memenuhi PT 2,5 persen, tidak bisa dianggap biasa. Legilslator pemilu 2009 adalah tolok ukur. 560 legislator yang berasal dari 77 daerah pemilihan senusantara merupakan akumulasi contrengan dari 121.588.366 pemilih. Bukan pula hal yang bisa diabaikan begitu saja.

Menuntaskan harapan atas kinerja progresif menandakan upaya terima kasih legislator terpilih sebagai respons balik terhadap kepercayaan publik yang dipundakkan kepadanya. Sebagaimana terminologi prinsip dasar demokrasi Abraham Lincoln (1809-1865), dikenal dengan Pidato Gettysburg (1863): dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hope or nope.

Kini, menyaksikan klaim elite-elite parpol menggunakan hasil pemilu legislatif untuk kepentingan bandul kekuasaan. Begitu gencar dengan manuver. Pragmatisme semacam demikian, mesti tidak harus senantiasa ada. Faktualnya: hope or nope. Diantara klaim dan keterpilihan.#

21 April, 2009

Sirkulasi Pemilu 2009

Mujaddid Muhas
Kegemilangan yang diraih Partai Demokrat pada pemilu ini bisa dikatakan prestasi yang prestisius. Prestasi yang diukir sekaligus menjadi amunisi pokok dalam pemilihan presiden beberapa waktu mendatang. Partai Demokrat yang relatif jauh meninggalkan partai politik lainnya unggul secara nasional, jika berlandaskan pada data quick count yang diselenggarakan dihampir sepuluh lembaga pollster nasional di Indonesia. Parpol papan atas sekaliber Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan harus puas diperingkat kedua dan ketiga.

Sementara pada parpol papan menengah Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa menempati formasi aman dan relatif statis. Formasi hanya terjadi pada perangkingan yang prosentasenya masih dapat fluktuatif ketika dikomparasikan dengan rekapitulasi manual data Komisi Pemilihan Umum. Hasil quick count yang mendesain aritmatika statistik margin of eror sebesar 0,5 sampai dua persen dalam banyak publikasi kerap tidak berbeda jauh dari hasil manual penyelenggaraan pemilu sebelumnya.

Sirkulasi parpol dari pemilu ke pemilu tampaknya terlihat dari makin variannya pilihan yang tidak hanya terpusat pada satu partai politik. Semakin update pemilu, variasi pilihan makin beraneka. Adapun hal yang menjadi perhatian adalah sebagai berikut: Pertama, sirkulasi swing voters. Peralihan pemilih parpol pada pemilu 2009 menjadi pendulum milik parpol beraliran nasionalis. Sirkulasi swing voters yang semula memilih parpol berbasis agama cenderung memilih parpol nasionalis. Sedangkan sebaliknya dari pemilih parpol nasionalis, ketika mengalami swing voters, justru masyarakat condong memilih parpol nasionalis yang lainnya. Gejala ini dapat dilihat dari formasi sembilan besar parpol yang berhak menempatkan legislatornya di Senayan.

Kedua, konfigurasi figur. Tidak bisa dipungkiri bahwa figuritas memiliki pengaruh yang kuat dalam menentukan partai politik pilihan masyarakat pemilih. Susilo Bambang Yudhoyono-Demokrat, Megawati Soekarno Putri-PDIP, dan Jusuf Kalla-Partai Golkar. Jika dibandingkan dengan parpol papan tengah yang bertengger dalam formasi quick count. Seperti terdapat dalam tabel dibawah ini:

Sedangkan kemampuan menampilkan figur baik saat kampanye maupun manajerial popularitas, pada parpol papan tengah terkesan masih belum menonjolkan atau menggadang figur yang dapat dipopulerkan kepada pemilih. Berbeda ketika pemilu 2004. Parpol pada cluster papan tengah ini menampilkan figur-figur seperti Gusdur, Amien Rais, dan lainnya.

Ketiga, fenomena partai baru seperti Hanura dan Gerindra, cukup memberikan referensi kepartaian pemilu 2009. Partai yang dibidani justru berasal dari figur-figur Partai Golkar yang membentuk partai baru. Hasilnya relatif melegakan. Fenomena kekuatan parpol baru juga pernah dialami parpol lain. Dalam pemilu 1999: PKB dan PAN, serta pemilu 2004 terhadap Partai Demokrat dan PKS.

Pemilu kini, dengan sistem keterwakilan yang membatasi parliament threshold 2,5 persen, menyebabkan beberapa parpol yang kurang dari ambang batas “terpaksa” tidak dapat mengisi kursi parlemen ditingkat nasional. Sekalian memberikan peluang bagi parpol peraih suara besar untuk mengonversi perolehan suara tersebut dalam penentuan kursi. Dengan prediksi peraihan diatas 2,5 persen, Hanura dan Gerindra (termasuk juga parpol lainnya) dapat merubah atau menentukan kebijakan legislasi sesuai program dan janji kampanye. Berpartisipasi dalam setiap bidang komisi yang ada di parlemen. Kendati di tingkat daerah aturan mengenai parliament threshold tidak berlaku. Artinya parpol-parpol yang belum dapat menempatkan legislatornya di Senayan, masih berpeluang mengisi parlemen di tingkat provinsi, kabupaten/kota.

Keempat, juara elektabilitas. Kemenangan dalam pemilu, tentu saja menjadi faktor penting dalam pemilu. Apalagi dalam pemilu 2009 hasil yang diperoleh melebihi 20 persen perolehan kursi legislatif atau 25 persen perolehan suara secara nasional. Ambang batas ini mendelegasikan kewenangan penuh atas parpol tersebut menyiapkan paket kandidat kepemimpinan nasional menjelang pilpres. Dalam format lain, partai tersebut dapat saja memimpin koalisi yang terbangun untuk menghadapi pilpres bulan Juli mendatang. Partai Demokrat sesungguhnya membuktikan langkah nyata. Bermula dari keikutsertaannya pada pemilu 2004 dengan peraihan sekitar 7,5 persen, kini mampu melampaui parpol lainnya. Sebagai pemenang pemilu 2009.

Sebagaimana diketahui, pemilu 1955, dimenangkan PNI, kemudian jelmaan genealogisnya: PDIP menjuarai pemilu 1999. Sedangkan pada semua pemilu Orde Baru serta spesifik pemilu 2004 diungguli oleh Golkar. Sedangkan pemilu 2009 ini milik Partai Demokrat yang telah lebih dulu mengantarkan figur sentralnya: SBY sebagai presiden. Juara elektabilitas yang dikelola melalui sistem manajerial kepartaian dan figuritas SBY, kemudian merubah formasi legislatif di tingkat nasional.

Pilpres 2009 merupakan tahap berikutnya. Apakah dua parpol besar lainnya (PDIP dan Partai Golkar) serta partai lainnya menyusun kembali komitmen kesepakatan yang telah dicanangkan sebelum pemilu? Ataukah figur-figur alternatif yang partainya menjadi fenomena kekuatan baru pemilu 2009. Wiranto-Hanura dan Prabowo Subianto-Gerindra. Sebab SBY pun demikian pada pemilu 2004.

Formasi paket kandidat kepemimpinan nasional tampaknya akan mengarah pada polarisasi dua kubu kekuatan. Kubu yang ingin mengawetkan kuasa sebagai pelanjut stabilitas pemerintahan. Berikutnya kekuatan yang mengelompok dengan berupaya menyinergikan kekuatan apa yang disebut sebagai perubahan atau pembaruan pemerintahan. Suatu upaya penyeimbang di antara anasir bahwa SBY-Demokrat pendulum pemilu 2009.#

13 Februari, 2009

Meneropong Advertising Politik

Mujaddid Muhas
Survei popularitas partai yang diadakan Lembaga Survei Indonesia, menghasilkan dua hal menarik. Menempatkan Partai Gerakan Indonesia Raya pada peringkat menggembirakan. Berikutnya Partai Demokrat secara mengejutkan berada pada posisi teratas mengungguli dua partai politik yang telah lama mengakar: Partai Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Menggembirakan kiranya, disebabkan Gerindra bukanlah parpol yang telah lama menghiasi konstelasi politik kepartaian di tanah air. Meski Prabowo yang membidani lahirnya Gerindra adalah sosok yang relatif cemerlang pada masa dinasnya di kemiliteran. Pensiun dini pada korps militer, tak membuatnya kehilangan ekspresi politik. Kini melalui Gerindra, melangkah maju untuk disodorkan kepada masyarakat pemilih pada pemilihan umum 2009.

Dihampir semua stasiun televisi, advertising Gerindra yang terdiri dari sejumlah tampilan, hadir kehadapan pemirsa. Ada ajakan untuk membeli produk dalam negeri, memaklumkan potensi sumber daya alam Indonesia yang berlimpah, hingga memberikan persepsi optimis Indonesia dapat mandiri dan tumbuh bersatu, menjadi daya tariknya tersendiri. Jika pemilu diadakan pada saat survei dilaksanakan, temuan LSI menyatakan bahwa Gerindra berada pada posisi keenam dari parpol yang berkompetisi. Setidaknya, merupakan capaian yang menggembirakan: di posisi partai papan tengah.

Memupus kejemuan pemilih
Lantas, sedemikiankah gambaran persepsi masyarakat, dengan gencarnya iklan dapat memberikan preferensi signifikan? Meneropongnya, mengingatkan pada gencarnya pula advertising Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat sebelum pemilu dan pemilihan presiden tahun 2004. Catatan Kompas 10 Oktober 2008, menyatakan iklan politik berpengaruh besar terhadap perubahan suhu politik di masyarakat. Hasil survei dari Indonesian Research and Institute, menunjukkan iklan Partai Demokrat dan SBY berada di tingkat teratas iklan yang paling dipilih oleh responden dengan persentase 53,9 persen. Sementara persentase iklan politik berikutnya secara berurutan ditempati oleh Gerindra dan Prabowo sebesar 53,8 persen, Golkar dan Yusuf Kalla 43,8 persen, Soetrisno Bachir 41,5 persen, dan Rizal Mallarangeng 33,7 persen (Sindo, 3 November 2008). Bandingkan pada spesifikasi iklan Gerindra dan Prabowo, masih menurut temuan LSI: dari 62 persen responden yang sering melihat iklannya, 64 persen suka dengan tampilan iklan simpatik tersebut.

Advertising politik bagi sebagian besar pemirsa televisi yang juga sebagiannya diyakini menjadi pemilih, tentu saja mendapatkan suasana “lain” dari iklan produk konsumtif yang biasa bertebaran. Kendati demikian, ada pula yang masih pesimis bahwa advertising politik dapat secara instan mengenalkan sosok atau produk kepartaian. Mengapa Soetrisno Bachir, belum juga terangkat dan berada pada positioning yang melegakan? Pertanyaan ini mewakili argumentasi semacam itu. Kajian psikologi massa dan komunikasi politik mengabarkan bahwa setiap produk advertising dan substansi pesan yang dikelola untuk konsumsi publik tetap akan memberikan dampak. Hanya saja, seberapa besar impresi yang dihasilkan berkesesuaian pada psikologi dan keadaan publik yang menerima pesan advertising politik. Setidaknya hal ini dapat memupus kejemuan pemilih serta menyokong adanya harapan dari pemahaman realitas tentang demokrasi.

Impresi Iklan
Menjelang pemilu 2009, disinyalir akan banyak iklan politik bertebaran sebagaimana yang terlihat sekarang. Namun dapat dipastikan tidak semua iklan dapat menarik impresi masyarakat pemilih. Hal yang terpenting bagaimana pesan dan ajakan simpatik atas realitas yang mendera dapat dirasakan sebagaimana kondisi yang sesungguhnya. Iklan politik dapat saja menampilkan berbagai data yang menunjukkan keberhasilan kinerja sebagai pengukur kelembagaan. Apalagi kemudian didukung oleh kapasitas personal dari orang yang beriklan. Dari mulai iklan di area publik, media cetak, radio dan televisi.

Beberapa yang sederhana namun unik dari pantauan penulis di seputar jalan raya Lombok Tengah. Sebagai contoh saja, ada parpol yang memajang singkatan nama partai. PKS: “Pilihan Kita Semua”, PBR: “Pilihan Bersama Rakyat” dan lain sebagainya. Bahkan penulis pernah berkelakar kepada seseorang di Partai Golkar yang mendapatkan nomor urut empat pada pencalonannya. Mungkinkah dalam penyosialisasiannya kepada konstituen menggunakan angka “234”, yang boleh jadi lebih memudahkan komunikasinya. Dilain hal ada calon legislator dari Partai Amanat Nasional: dengan “999”. Dapat bermakna tanggal sembilan memilih parpol bernomor urut sembilan serta menyentang calon urut nomor sembilan. Sekali lagi ini suatu permisalan semata. Inovasi politik lewat iklan diharapkan dapat memberikan impresi bagi masyarakat pemilih.

Area niriklan
Bagi parpol yang telah lama mengakar pada basis-basis area tertentu, tentu saja iklan bagi konstituen tidaklah begitu memengaruhinya. Barangkali disebabkan pola interaksi antarparpol atau figur parpol dengan masyarakat konstituennya terjalin dengan baik. Pada ranah demikian, iklan bermakna sia-sia. Biasanya basis-basis parpol tersebut dipengaruhi oleh kesejarahan yang berlangsung lama dan bersifat ideologikal atau semacam telah membangun sistem kekerabatan atau program kemasyarakatan. Parpol berganti nomor, berubah gambar, namun pilihan dijatuhkan hanya kepada parpol yang telah memberikan guna bagi konstituen. Dari sisi ini teralamatkan pada Masyumi dan variannya, Marhaen dengan berbagai ragamnya serta parpol yang menjadi pemenang pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Parpol atau orang-orang yang membantu pengelolaan manajemen kepartaian memerlukan identifikasi basis-basis pilihan atau setidaknya mengetahui sejauh mana potensi layak untuk dikelola intensif. Mana wilayah advertising, bahkan manakah kompetitor parpol yang berpotensi menjadi pendulang suara. Formula umum dari premis iklan adalah semakin dekat hari pemilihan, maka semakin intens sosialisasi dilakukan sesuai prosedur dan tata laksana aturan. Ketika telah begini, advertising politik memberikan dampak adanya pemekaran kreatifitas bagi ahli desain grafis untuk berkiprah. Ringkasnya: ada potensi desentralisasi desain grafis! Gemilang untuk desainer grafis, menjemput prosedural demokrasi yang terus berlangsung.#

17 Juli, 2008

Postulat Pilkada NTB

MS. Ending, MA & Mujaddid Muhas*
Senin, tujuh Juli 2008 begitu berarti bagi masyarakat pemilih di Nusa Tenggara Barat yang kali perdana melakukan pemilihan secara langsung. Berbagai kreasi ditunjukkan dalam peran-peran mobilitas kampanye dalam 14 hari kampanye telah usai. Begitu pun hari jeda yang diformat sebagai hari penenangan dari segala atribut dan alat peraga. Dari tempat tinggalnya masyarakat datang bergantian, sebagian besar lengkap dengan kelompok keluarga yang mengemas agenda hari itu adalah hari penentuan pemimpin NTB. Semangat demokrasi di Bumigora juga ditunjukkan pula pada hari yang sama di Kabupaten Lombok Timur.

Tak lepas dari itu semua, para kandidat juga melakukan partisipasi memilih di sekitar tempat kediaman masing-masing. Datang, mengantre seperti kebanyakan orang, kemudian memilih. Prosedur demokrasi baik mengatur orang yang datang duluan di TPS mencoblos terlebih dahulu, kecuali jika ada kekeliruan. Estimasi angka partisipasi pemilih dalam pilkada, berdasarkan penelusuran Lembaga Survei Indonesia yang mengadakan penghitungan cepat sebesar 74.65 persen. Angka tersebut dapat dikatakan relatif masih besar jika dibandingkan pemilihan kepala daerah seperti Jakarta (66.6 persen), Jawa Barat (57.25 persen), dan Jawa Tengah (55 persen). Meretas asumsi yang selama ini berkembang: ada gejala partisipasi pilkada yang makin lama makin menurun.

Relatif besarnya angka partisipasi pemilih barangkali difaktori oleh beberapa hal sekaligus menjadi postulat antara lain: pertama, pilkada langsung provinsi dilakukan pertama kalinya dalam sejarah prosedur demokrasi memilih langsung pemimpin yang diinginkan masyarakat pemilih NTB. Berbagai kemeriahan yang ditunjukkan TPS-TPS memberikan indikasi bahwa semangat dalam berpartisipasi menentukan otonom pilihannya: cukup tinggi. Kedua, mekanisme teknis yang berada dalam kewenangan Komisi Pemilihan Umum NTB dan stackholder-nya berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun ada hal-hal yang menjadi kendala sekaligus keluhan dari masyarakat yang tidak sempat melakukan pencoblosan. Misalnya tidak memiliki kartu pemilih. Namun himbauan resmi tentang pencoblosan dapat dilakukan asalkan telah terdaftar dalam daftar pemilih sementara atau daftar pemilih tambahan, setidaknya dapat meminimalisir angka nirpartisipasi yang lebih banyak.

Ketiga, masyarakat pemilih telah makin sadar dengan hak-hak politiknya, tanpa harus mengeksekusi negatif yang tidak memilih. Tradisi memilih yang ditunjukkan boleh jadi dengan berbagai logika pikir bahwa masyarakat ingin menentukan pilihan secara otonom dan merdeka tanpa pengaruh dan intervensi orang lain. Boleh jadi pula menggunakan mekanisme pemilihan sebagai efek reward and funishment warga negara terhadap kandidat pemimpinnya. Selain itu, pola masyarakat yang cenderung partisipatif ada kalanya dipengaruhi oleh sistem sosial yang berkembang pada masyarakatnya.

Keempat, daya pikat terhadap paket kandidat dapat memberikan nilai partisipasi dari masyarakat untuk memilih di bilik suara. Ekspektasi yang begitu jibun dalam benak masyarakat pemilih teraktualisasi dalam sebutan-sebutan pilihan coblosan yang tertulis/tertempel pada saat penghitungan suara. Hal ini menunjukkan adanya keterikatan pemilih konstituen terhadap figuritas kandidat yang menjadi dambaannya. Dampaknya bagi masa depan demokrasi adalah positif. Demokrasi makin mekar sebagai “taman warna”. Sebab kata orang, bunga saja ketika satu warna, tempat mekarnya tak akan disebut sebagai taman. Maka dari itu demokrasi dimungkinkan mesti berwarna-warni. Otoritas internal diselesaikan dengan komunalitas internal, kewenangan eksternal digunakan untuk segenap kepentingan yang meluas penuh warna-warni. Keseimbangan pendulum politik pun tetap terjaga.

Unggul dan ulung
Spirit demokrasi telah ditunjukkan, pendulum politik yang terjaga senantiasa memiliki energi dalam upaya mengisi pemerintahan bagi paket kepemimpinan yang unggul. Merunut hasil penghitungan cepat dua lembaga yang melansir hitungan ilmiahnya. Paket pasangan BARU bernomor urut dua unggul dari tiga paket kandidat kompetitornya. LSI Saiful Mujani maupun Denny JA yaitu secara berurutan sebagai berikut paket kandidat NAJAR: 16.92;16.60 persen, BARU: 37.66;37.06 persen, SERIUS: 27.23;28.68 persen, ZANUR: 18.19;17.67 persen. Dengan simpul (sementara) ini tidak dapat digenaralisir sepenuhnya, hanya saja metodologi ilmiah yang kerap teruji dilakukan juga di berbagai daerah dapat memecah keingintahuan publik diawal-awal, seperti menjadi “standar baku”. Adapun keputusan, tetap bersandar pada penghitungan resmi KPU NTB yang diperkirakan 18 Juli 2008 final.

Jika memakai asumsi-asumsi paparan datatif di atas, memberikan pemaknaan. Pertama, suara masyarakat pemilih yang terpolarisasi kepada para paket kandidat, tidaklah terlampau jauh intervalnya. Artinya tiga paket kandidat kompetitor bisa juga dikatakan ulung hingga mendapatkan perolehan suara yang signifikan. Ketika melihat perolehan suara di TPS masing-masing & diprediksi tiga paket kandidat menang di salah satu kabupaten/kota, selebihnya dimenangkan oleh paket kandidat BARU. Hanya saja yang unggul tetap yang terbanyak perolehannya. Keulungan tiga kompetitor dan unggulnya paket pasangan BARU mengindikasikan NTB tidak kekurangan pemimpin!

Kedua, analisa tentang peluang adanya putaran kedua berpeluang tipis. Meskipun sekali lagi datatif hitungan cepat belum menunjukkan keuggulan yang bersifat final. Sebagaimana aturan perundang-undangan No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua UU. Pemerintahan Daerah, pasal 107 ayat (4): “Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, atau tidak ada yang mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua”. Dengan argumentasi tersebut, peluang adanya putaran kedua tipis. Namun kembali, hitungan realitas KPU NTB yang akan menjadi penentu final.

NTB telah memilih. Janji dan komitmen yang terpatri dalam lembaran visi, mesti diejawantahkan bagi pemimpin terpilih. Menapaki waktu-waktu ke depan, masih harus terwarna. Manakala pendulum demokrasi tidak menemukan keseimbangannya, yang terjadi gejolak politik tak berkesudahan. Tentu saja masyarakat akan memundakkan harapan pada siapapun kepemimpinan NTB yang terpilih. Sejauh mana masyarakat NTB dapat memajukan kehidupannya melalui peran-peran pemerintah yang optimal selaras dengan komitmen yang telah terkampanyekan secara sistematis. Tidak untuk apatis, tidak pula terburu-buru bombastis, menuju Bumigora optimis.#

* Penulis adalah Koordinator & Sekretaris Eksekutif
Jaringan Pena Mataram. Email: penanet_mataram@plasa.com

01 Juli, 2008

Kampanye Popularitas & Vote Getter

Mujaddid Muhas
Hari-hari pemungutan suara kian dekat. Pemilihan paket kepala daerah di Nusa Tenggara Barat semakin seru dan kompetitif. Terutama tentu dirasakan oleh tim pemenangan masing-masing. Dengan memanfaatkan 14 hari waktu kampanye yang telah diatur sedemikian rupa oleh Komisi Pemilihan Umum NTB. Semua kandidat pada posisi siap menyelesaikan tahapan pilkada hingga usai. Sesiap tim kampanyenya melakukan penerangan sekaligus barangkali penerawangan.

Bagaimana kans dan peluang kandidat untuk unggul dalam pertarungan yang mengandalkan suara masyarakat pemilih Bumigora? Berbagai upaya ditempuh sehingga upaya tersebut diyakinkan dapat mencapai tujuan akhir: unggul dari paket kandidat lainnya. Dalam pandangan ilmiah, kampanye menjadi agenda penting dalam meraih preferensi masyarakat pemilih. Misalnya saja ada paket kandidat yang telah mendapatkan preferensi disuatu daerah maka dengan adanya kampanye, tim kampanyenya melakukan update kekuatan hingga dapat dikatakan sebagai basis.

Sedangkan bagi paket kandidat yang belum populer diminati masyarakat pemilih, adanya kampanye merupakan “waktu-waktu mustajab” untuk meraih simpatik dengan menawarkan program nyata dan kepedulian konkret sehingga aspirasi yang berkembang di masyarakat kemudian diakomodir dalam bentuk kebijakan populis pada masa pemerintahannya kelak.

Kendati masa kampanye hanya berdurasi dua pekan, namun masa kampanye tidak dapat dianggap enteng untuk dilupakan. Apalagi bagi masyarakat pemilih yang hingga kampanye akan berlangsung belum menentukan pilihan. Ditilik dari sisi tipologi/karakter pemilih (Firmanzah, 2007: 133). Pertama, pemilih rasional. Tipologi pemilih cenderung tinggi pada pemecahan masalah melalui program nyata dengan tingkat orientasi ideologi rendah. Misalnya ada pada pemilih perkotaan (urban). Artinya pemilahan isu dan pesan lebih diutamakan pada program konkret apa yang akan diungkapkan. Kedua, pemilih kritis. Karakter pemilih yang memiliki orientasi baik ideologis maupun program nyata tinggi. Oleh karena pada karakter ini pemilih melakukan penilaian matang kemudian memutuskan kepada siapa pilihan akan diputuskan. Biasanya terdapat pada pemilih dengan tingkat pendidikan diatas standar: perguruan tinggi.

Ketiga, pemilih skeptis merupakan sebaliknya dari pemilih kritis tetapi umumnya berjumlah banyak. Misalnya pada pemilih pedesaan yang jauh dari jangkauan sarana/prasarana atau masyarakat pemilih yang mengalami tingkat kesejahteraan dibawah rata-rata. Pemilih yang berada pada garis kemiskinan “absolut”. Saat ini nyata terlihat pada masyarakat yang menerima bantuan langsung tunai. Keempat, pemilih tradisional yaitu tipologi pemilih yang telah terbiasa dengan pilihan “semula” dan berlangsung lama dengan tingkat orientasi ideologi tinggi. Dapat disimak pada pilihan partai dalam pemilu. Pada dasarnya pemilih tradisional juga berpengaruh terhadap kecenderungan keyakinan yang berlangsung lawas sehingga menjadi basis-basis yang teridentifikasi sebagai basis “awet”.

Adu jajal strategi
Banyak cara dan metode yang telah tersimak dari lebih setengah perjalanan kampanye di Bumigora. Dari mulai tempat-tempat pelosok yang dikunjungi hingga area yang menyita perhatian publik seperti pasar, sawah, terminal, lapangan umum dan lainnya. Alat peraganya pun beragam: dari mulai spanduk dukungan, banner pengenalan pokok visi dan nomor, baliho penggugah kata dan motivasi memilih, sms center, komitmen pernyataan, kesaksian dari vote getters (pendulang suara) bahkan gambar-gambar ada yang bentuknya kecil-kecil seperti korek api. Begitu gampang dibawa dan didengung-dengungkan.

Semua medium kampanye yang dipakai dapat dianggap lumrah dan kreatif, selama tidak bertentangan dengan aturan dan tata laksana proses pilkada seperti provokasi isu sara dan black campaign,. Studi politik pencitraan popularitas sering disebut dengan political marketing. Upaya yang dilakukan dalam rangka menggugah masyarakat pemilih dengan menunjukkan kesungguhan serta meyakinkan masyarakat pemilih untuk memilih paket kandidat. Masing-masing kandidat dalam satu paket berbagi kerja serta menyosialisasikan keampuhan masing-masing yang berbaku-padu. Di sebuah daerah luar NTB malah ada paket kandidat yang mendermakan secara cuma-cuma helm bagi pengendara motor agar perjalanan menjadi aman dan nyaman serta taat aturan berpengguna jalan.


14 hari & vote getters
Dari paket kandidat yang telah populer dengan sebutan Najar, Baru, Serius, dan Zanur. Kesemuanya mendesain strategi dan adu jajal pemenangan dari tim kampanye masing-masing termasuk bagaimana memanfaatkan forum debat publik yang diadakan KPU NTB sebagai ajang optimal, ketika biasanya sebagian besar masyarakat pemilih menyaksikannya melalui siaran televisi yang telah menjangkau pelosok. Sedangkan pada kampanye yang sifatnya terbuka (monologis), memokuskan kampanye dengan melihat segmentasi pemilih yang berbeda-beda di suatu area bisa membantu kelancaran dan efektifitas pilihan informasi yang mengena terhadap masyarakat pemilih.

Misalnya saja ketika sebuah area sering mati lampu maka yang ditawarkan pada masa kampanye adalah soal kelancaran pasokan listrik yang merata. Selain itu, tak dapat dipungkiri kehadiran vote getters pada daerah yang masyarakat pemilihnya paternalistik dirasa ampuh mendulang suara. Dengan tujuan menjadi penyerap suara bahwa pilihan masyarakat pemilih cenderung mengikuti figur-figur yang telah lama ada. Vote getters kerap kali ditanyai oleh para pemilih yang rada-rada bingung menentukan pilihan. Dalam konteks inilah keberadaannya menjadi bagian faktor pendulang suara kecuali pada segmentasi masyarakat pemilih yang kritis dan rasional.

Kalau meminjam bahasa-bahasa gaul pemilih pemula dihubungkan dengan tajuk-tajuk film: 30 hari mencari cinta, dan tiga hari untuk selamanya, maka dalam pilkada untuk 14 hari masa kampanye mencari kemenangan dan satu hari pemungutan suara: tujuh juli untuk empat tahun 364 hari berikutnya. Masa 14 hari kampanye di tambah tiga hari jeda untuk mencoblos keesokan harinya merupakan momentum sejarah demokrasi Bumigora yang kali perdana memilih secara langsung. Masyarakat pemilih berhak memilih, sementara paket kandidat berkewajiban sungguh-sungguh membangun pesta demokrasi kekinian secara fair. Seperti yang ditunjukkan pada perhelatan memukau Sepakbola Euro 2008 hingga kita hampir kerap begadang karenanya.#

23 Februari, 2008

Bandul Kompetisi Konvensi

Mujaddid Muhas
Berlangsung di tempat tenang, tentu dengan perhelatan yang menegangkan, kompetitif serta adu jajal sejumlah strategi pemenangan. Dikeheningan malam hasil suara telah ditentukan dengan hiruk-pikuk konstalasinya. Hampir semua nominator dalam konvensi Nusa Tenggara Barat (NTB) pernah mengenyam pengalaman di Partai Golkar. Namun mekanisme yang berkembang dalam konvensi, suara tidak hanya berasal dari struktur inti partai tetapi sayap partai dalam hal ini kelompok induk organisasi memiliki hak suara disamping suara dari Dewan Pimpinan Pusat dengan persentase sesuai otoritas. Masing-masing nominator meyakinkan sekian struktur diberbagai tingkatan, menegosiasikan dukungan dan asupan suara, mengelola konsensus internal dan sebagainya. Sungguh, ide konvensi begitu membuat semua infrastruktur partai: bekerja.

Bagi Partai Golkar, konvensi merupakan inovasi politik sebagai mekanisme yang relatif sistematis dan otentik. Konvensi dapat mengukur dukungan aspirasi internal serta pencitraan publik secara meluas. Bahwa dengan menghasilkan pemenang konvensi, calon kepala daerah yang diusung akan lebih terlegitimasi. Selain itu pula suara-suara publik boleh jadi memberikan apresiasi kepada Partai Golkar yang telah dengan “demokratis” menghelat sebuah ajang berdemokrasi.

Akbar Tandjung sebagai “pemegang” ide konvensi pernah menyatakan dalam ringkasan disertasinya: “inovasi politik demokratis yang dilakukan Partai Golkar melalui konvensi penetapan calon presiden berhasil mengangkat citra... terlihat dari apresiasi masyarakat terhadap langkah-langkah demokratisasi politik yang dilakukan... [sehingga] mampu meraih tambahan dukungan suara serta memenangi pemilu legislatif 2004” (Partai Golkar dalam Pergolakan Politik Era Reformasi: Tantangan dan Respons, 2007: 26). Meskipun kini, di tingkat pusat masih menimbulkan spekulasi besar. Apakah benar, perhelatan konvensi di daerah akan dilakukan pula di tingkat pusat menjelang pemilu 2009? Sebagaimana juga dilaksanakan di daerah Kalimantan Timur dan daerah lainnya.

Hasil seperti yang ada pada arena dan media, Ketua Partai Golkar NTB meraih suara tertinggi dari empat nominator lainnya. Artinya tiket untuk masuk ke pintu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) NTB terbuka lebar, tinggal bagaimana mengomunikasikan pendamping yang sesuai dengan formasi kepartaian dan timbangan peraihan suara.

Selangkah lagi, publik akan dipersembahkan paket usungan Partai Golkar setelah paket perdana Partai Bulan Bintang-Partai Keadilan Sejahtera (PBB-PKS) serta paket Partai Kebangkitan Bangsa-Partai Persatuan Pembangunan (PKB-PPP). Masih ada peluang untuk koalisi ataupun melenggang sendirian, sebab kalkulasi matematisnya, Partai Golkar tidak berkoalisi pun dapat mengusung satu paket penuh. Sampai disini, tampaknya Partai Golkar NTB dapat dikatakan memegang bandul dalam rekruting usungan. Selepas konvensi menuai hasil final, iklim politik menjadi makin menghangat.

Menyimak realitas tersebut, maka bagi partai-partai yang belum menentukan sikap seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat berpeluang untuk di pinang/meminang dengan konsensus tertentu. Termasuk 14 koalisi partai papan bawah serta Partai Bintang Reformasi dan Partai Amanat Nasional yang dikabarkan masih “menimbang-nimbang” untuk menentukan paketnya. Pandangan penulis menyebutkan setidaknya akan ada satu atau dua partai yang merapat ke Partai Golkar. Barangkali karena kedekatan institutional serta kesepakatan pembicaraan yang telah berlangsung lama.

Ada beberapa hal yang menjadi dasar argumentasi diatas. Pertama, gejala nasional silaturrahmi politik yang dilakukan Partai Golkar dan PDIP telah membuahkan kemenangan di berbagai pemilihan kepala daerah (pilkada), sebut saja misalnya Pilkada Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Banten. Pilkada yang mengusung tema paradigma pembangunan, pengalaman berpemerintahan serta nilai kebersamaan cukup efektif dikelola. Sebab seimbangnya kekuatan yang ada di legislatif-eksekutif, teorinya dapat menyetabilkan jalannya pemerintahan.

Kedua, dipengaruhi oleh kesamaan persepsi dalam menelola pemerintahan daerah yang dituangkan dalam distribusi kekuasaan serta agenda jangkapanjang yang lebihterorientasi. Partai Golkar melalui pengalaman yang telah ditunjukkannya dalam medan politik, dirasa mampu mendesain resources yang ada bersama kekuatan politik lainnya. Ditengah-tengah stigma yang berkembang, bahwa Partai Golkar telah kelewat memenuhi ambang batas orientasi kekuasaan sehingga mesti ada kekuatan penyeimbang yang berasal dari arus utama perubahan. Keadaan ini akan menggelinding, manakah yang lebih dapat diterima? Kembali realitas politik yang akan menunjukkan.

Ketiga, adanya isu-isu krusial yang “membawa angin segar” ke Partai Golkar untuk dipinang atau peran sebaliknya. Misalnya perseteruan pengaruh dan keinginan berbeda dari kekuatan-kekuatan politik yang ada. Menimbulkan spekulasi cepat bahwa Partai Golkar dapat menyelamatkan apa yang selama ini dapat terhindarkan. Meskipun klimak seperti ini tidak menjadi faktor yang utama. Keempat, sistem kelembagaan politik yang terstruktur mapan pada Partai Golkar yang relatif besar juga dari sisi kekuatan, “mengharuskan” kekuatan lain meliriknya sebagai alternatif distribusi kekuasaan. Sebagaimana Samuel P. Huntington pada pemaparan Tertib Politik pada Masyarakat yang sedang Berubah: “proses pembangunan politik partai biasanya berkembang melalui empat tahapan penting: faksionalisme atau pengelompokan, polarisasi atau pemisahan, ekspansi atau perluasan, dan institusionalisasi atau pelembagaan” (2004: 489).

Apapun itu, kompetisi konvensi Partai Golkar telah menghasilkan pemenang yang belum memiliki pendamping, dua paket bakal calon dari koalasi partai telah diformalkan (PBB-PKS dan PKB-PPP) sedangkan dua kekuatan masih bersikap wait and see terus meneropong. Keinginan dari beberapa partai yang belum menentukan sikap dalam posisi wait and see, ditambah lagi sulitnya menentukan figuritas terutama bagi partai/gabungan partai menyebabkan nominator-nominator dalam konvensi bisa saja dilirik untuk diusung memblunder sebagai bentuk kekuatan alternatif.

Sedangkan bagi kebutuhan publik, bagaimana perhelatan semacam ini dapat memberikan nilai edukasi dalam berdemokrasi. Meski suasana politik makin menghangat, harga-harga sembako mesti tetap dapat dikendalikan. Pelayanan pemerintahan senantiasa berlangsung normal, kendali keamanan berjalan pada track-nya. Ketika edukasi politik yang dipraktekkan partai politik maka publik serta merta menyimak kesungguhannya. Edukasi partai bukan hanya pada ranah kekuasaan semata melainkan cara berpemerintahan pada jalur yang sesungguhnya. Saatnya publik menjadi penentu di tengah cuaca dari “catatan” Badan Metereologi Geofisika berkata: tak menentu.#