21 April, 2009

Sirkulasi Pemilu 2009

Mujaddid Muhas
Kegemilangan yang diraih Partai Demokrat pada pemilu ini bisa dikatakan prestasi yang prestisius. Prestasi yang diukir sekaligus menjadi amunisi pokok dalam pemilihan presiden beberapa waktu mendatang. Partai Demokrat yang relatif jauh meninggalkan partai politik lainnya unggul secara nasional, jika berlandaskan pada data quick count yang diselenggarakan dihampir sepuluh lembaga pollster nasional di Indonesia. Parpol papan atas sekaliber Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan harus puas diperingkat kedua dan ketiga.

Sementara pada parpol papan menengah Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa menempati formasi aman dan relatif statis. Formasi hanya terjadi pada perangkingan yang prosentasenya masih dapat fluktuatif ketika dikomparasikan dengan rekapitulasi manual data Komisi Pemilihan Umum. Hasil quick count yang mendesain aritmatika statistik margin of eror sebesar 0,5 sampai dua persen dalam banyak publikasi kerap tidak berbeda jauh dari hasil manual penyelenggaraan pemilu sebelumnya.

Sirkulasi parpol dari pemilu ke pemilu tampaknya terlihat dari makin variannya pilihan yang tidak hanya terpusat pada satu partai politik. Semakin update pemilu, variasi pilihan makin beraneka. Adapun hal yang menjadi perhatian adalah sebagai berikut: Pertama, sirkulasi swing voters. Peralihan pemilih parpol pada pemilu 2009 menjadi pendulum milik parpol beraliran nasionalis. Sirkulasi swing voters yang semula memilih parpol berbasis agama cenderung memilih parpol nasionalis. Sedangkan sebaliknya dari pemilih parpol nasionalis, ketika mengalami swing voters, justru masyarakat condong memilih parpol nasionalis yang lainnya. Gejala ini dapat dilihat dari formasi sembilan besar parpol yang berhak menempatkan legislatornya di Senayan.

Kedua, konfigurasi figur. Tidak bisa dipungkiri bahwa figuritas memiliki pengaruh yang kuat dalam menentukan partai politik pilihan masyarakat pemilih. Susilo Bambang Yudhoyono-Demokrat, Megawati Soekarno Putri-PDIP, dan Jusuf Kalla-Partai Golkar. Jika dibandingkan dengan parpol papan tengah yang bertengger dalam formasi quick count. Seperti terdapat dalam tabel dibawah ini:

Sedangkan kemampuan menampilkan figur baik saat kampanye maupun manajerial popularitas, pada parpol papan tengah terkesan masih belum menonjolkan atau menggadang figur yang dapat dipopulerkan kepada pemilih. Berbeda ketika pemilu 2004. Parpol pada cluster papan tengah ini menampilkan figur-figur seperti Gusdur, Amien Rais, dan lainnya.

Ketiga, fenomena partai baru seperti Hanura dan Gerindra, cukup memberikan referensi kepartaian pemilu 2009. Partai yang dibidani justru berasal dari figur-figur Partai Golkar yang membentuk partai baru. Hasilnya relatif melegakan. Fenomena kekuatan parpol baru juga pernah dialami parpol lain. Dalam pemilu 1999: PKB dan PAN, serta pemilu 2004 terhadap Partai Demokrat dan PKS.

Pemilu kini, dengan sistem keterwakilan yang membatasi parliament threshold 2,5 persen, menyebabkan beberapa parpol yang kurang dari ambang batas “terpaksa” tidak dapat mengisi kursi parlemen ditingkat nasional. Sekalian memberikan peluang bagi parpol peraih suara besar untuk mengonversi perolehan suara tersebut dalam penentuan kursi. Dengan prediksi peraihan diatas 2,5 persen, Hanura dan Gerindra (termasuk juga parpol lainnya) dapat merubah atau menentukan kebijakan legislasi sesuai program dan janji kampanye. Berpartisipasi dalam setiap bidang komisi yang ada di parlemen. Kendati di tingkat daerah aturan mengenai parliament threshold tidak berlaku. Artinya parpol-parpol yang belum dapat menempatkan legislatornya di Senayan, masih berpeluang mengisi parlemen di tingkat provinsi, kabupaten/kota.

Keempat, juara elektabilitas. Kemenangan dalam pemilu, tentu saja menjadi faktor penting dalam pemilu. Apalagi dalam pemilu 2009 hasil yang diperoleh melebihi 20 persen perolehan kursi legislatif atau 25 persen perolehan suara secara nasional. Ambang batas ini mendelegasikan kewenangan penuh atas parpol tersebut menyiapkan paket kandidat kepemimpinan nasional menjelang pilpres. Dalam format lain, partai tersebut dapat saja memimpin koalisi yang terbangun untuk menghadapi pilpres bulan Juli mendatang. Partai Demokrat sesungguhnya membuktikan langkah nyata. Bermula dari keikutsertaannya pada pemilu 2004 dengan peraihan sekitar 7,5 persen, kini mampu melampaui parpol lainnya. Sebagai pemenang pemilu 2009.

Sebagaimana diketahui, pemilu 1955, dimenangkan PNI, kemudian jelmaan genealogisnya: PDIP menjuarai pemilu 1999. Sedangkan pada semua pemilu Orde Baru serta spesifik pemilu 2004 diungguli oleh Golkar. Sedangkan pemilu 2009 ini milik Partai Demokrat yang telah lebih dulu mengantarkan figur sentralnya: SBY sebagai presiden. Juara elektabilitas yang dikelola melalui sistem manajerial kepartaian dan figuritas SBY, kemudian merubah formasi legislatif di tingkat nasional.

Pilpres 2009 merupakan tahap berikutnya. Apakah dua parpol besar lainnya (PDIP dan Partai Golkar) serta partai lainnya menyusun kembali komitmen kesepakatan yang telah dicanangkan sebelum pemilu? Ataukah figur-figur alternatif yang partainya menjadi fenomena kekuatan baru pemilu 2009. Wiranto-Hanura dan Prabowo Subianto-Gerindra. Sebab SBY pun demikian pada pemilu 2004.

Formasi paket kandidat kepemimpinan nasional tampaknya akan mengarah pada polarisasi dua kubu kekuatan. Kubu yang ingin mengawetkan kuasa sebagai pelanjut stabilitas pemerintahan. Berikutnya kekuatan yang mengelompok dengan berupaya menyinergikan kekuatan apa yang disebut sebagai perubahan atau pembaruan pemerintahan. Suatu upaya penyeimbang di antara anasir bahwa SBY-Demokrat pendulum pemilu 2009.#