23 Februari, 2008

Bandul Kompetisi Konvensi

Mujaddid Muhas
Berlangsung di tempat tenang, tentu dengan perhelatan yang menegangkan, kompetitif serta adu jajal sejumlah strategi pemenangan. Dikeheningan malam hasil suara telah ditentukan dengan hiruk-pikuk konstalasinya. Hampir semua nominator dalam konvensi Nusa Tenggara Barat (NTB) pernah mengenyam pengalaman di Partai Golkar. Namun mekanisme yang berkembang dalam konvensi, suara tidak hanya berasal dari struktur inti partai tetapi sayap partai dalam hal ini kelompok induk organisasi memiliki hak suara disamping suara dari Dewan Pimpinan Pusat dengan persentase sesuai otoritas. Masing-masing nominator meyakinkan sekian struktur diberbagai tingkatan, menegosiasikan dukungan dan asupan suara, mengelola konsensus internal dan sebagainya. Sungguh, ide konvensi begitu membuat semua infrastruktur partai: bekerja.

Bagi Partai Golkar, konvensi merupakan inovasi politik sebagai mekanisme yang relatif sistematis dan otentik. Konvensi dapat mengukur dukungan aspirasi internal serta pencitraan publik secara meluas. Bahwa dengan menghasilkan pemenang konvensi, calon kepala daerah yang diusung akan lebih terlegitimasi. Selain itu pula suara-suara publik boleh jadi memberikan apresiasi kepada Partai Golkar yang telah dengan “demokratis” menghelat sebuah ajang berdemokrasi.

Akbar Tandjung sebagai “pemegang” ide konvensi pernah menyatakan dalam ringkasan disertasinya: “inovasi politik demokratis yang dilakukan Partai Golkar melalui konvensi penetapan calon presiden berhasil mengangkat citra... terlihat dari apresiasi masyarakat terhadap langkah-langkah demokratisasi politik yang dilakukan... [sehingga] mampu meraih tambahan dukungan suara serta memenangi pemilu legislatif 2004” (Partai Golkar dalam Pergolakan Politik Era Reformasi: Tantangan dan Respons, 2007: 26). Meskipun kini, di tingkat pusat masih menimbulkan spekulasi besar. Apakah benar, perhelatan konvensi di daerah akan dilakukan pula di tingkat pusat menjelang pemilu 2009? Sebagaimana juga dilaksanakan di daerah Kalimantan Timur dan daerah lainnya.

Hasil seperti yang ada pada arena dan media, Ketua Partai Golkar NTB meraih suara tertinggi dari empat nominator lainnya. Artinya tiket untuk masuk ke pintu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) NTB terbuka lebar, tinggal bagaimana mengomunikasikan pendamping yang sesuai dengan formasi kepartaian dan timbangan peraihan suara.

Selangkah lagi, publik akan dipersembahkan paket usungan Partai Golkar setelah paket perdana Partai Bulan Bintang-Partai Keadilan Sejahtera (PBB-PKS) serta paket Partai Kebangkitan Bangsa-Partai Persatuan Pembangunan (PKB-PPP). Masih ada peluang untuk koalisi ataupun melenggang sendirian, sebab kalkulasi matematisnya, Partai Golkar tidak berkoalisi pun dapat mengusung satu paket penuh. Sampai disini, tampaknya Partai Golkar NTB dapat dikatakan memegang bandul dalam rekruting usungan. Selepas konvensi menuai hasil final, iklim politik menjadi makin menghangat.

Menyimak realitas tersebut, maka bagi partai-partai yang belum menentukan sikap seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat berpeluang untuk di pinang/meminang dengan konsensus tertentu. Termasuk 14 koalisi partai papan bawah serta Partai Bintang Reformasi dan Partai Amanat Nasional yang dikabarkan masih “menimbang-nimbang” untuk menentukan paketnya. Pandangan penulis menyebutkan setidaknya akan ada satu atau dua partai yang merapat ke Partai Golkar. Barangkali karena kedekatan institutional serta kesepakatan pembicaraan yang telah berlangsung lama.

Ada beberapa hal yang menjadi dasar argumentasi diatas. Pertama, gejala nasional silaturrahmi politik yang dilakukan Partai Golkar dan PDIP telah membuahkan kemenangan di berbagai pemilihan kepala daerah (pilkada), sebut saja misalnya Pilkada Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Banten. Pilkada yang mengusung tema paradigma pembangunan, pengalaman berpemerintahan serta nilai kebersamaan cukup efektif dikelola. Sebab seimbangnya kekuatan yang ada di legislatif-eksekutif, teorinya dapat menyetabilkan jalannya pemerintahan.

Kedua, dipengaruhi oleh kesamaan persepsi dalam menelola pemerintahan daerah yang dituangkan dalam distribusi kekuasaan serta agenda jangkapanjang yang lebihterorientasi. Partai Golkar melalui pengalaman yang telah ditunjukkannya dalam medan politik, dirasa mampu mendesain resources yang ada bersama kekuatan politik lainnya. Ditengah-tengah stigma yang berkembang, bahwa Partai Golkar telah kelewat memenuhi ambang batas orientasi kekuasaan sehingga mesti ada kekuatan penyeimbang yang berasal dari arus utama perubahan. Keadaan ini akan menggelinding, manakah yang lebih dapat diterima? Kembali realitas politik yang akan menunjukkan.

Ketiga, adanya isu-isu krusial yang “membawa angin segar” ke Partai Golkar untuk dipinang atau peran sebaliknya. Misalnya perseteruan pengaruh dan keinginan berbeda dari kekuatan-kekuatan politik yang ada. Menimbulkan spekulasi cepat bahwa Partai Golkar dapat menyelamatkan apa yang selama ini dapat terhindarkan. Meskipun klimak seperti ini tidak menjadi faktor yang utama. Keempat, sistem kelembagaan politik yang terstruktur mapan pada Partai Golkar yang relatif besar juga dari sisi kekuatan, “mengharuskan” kekuatan lain meliriknya sebagai alternatif distribusi kekuasaan. Sebagaimana Samuel P. Huntington pada pemaparan Tertib Politik pada Masyarakat yang sedang Berubah: “proses pembangunan politik partai biasanya berkembang melalui empat tahapan penting: faksionalisme atau pengelompokan, polarisasi atau pemisahan, ekspansi atau perluasan, dan institusionalisasi atau pelembagaan” (2004: 489).

Apapun itu, kompetisi konvensi Partai Golkar telah menghasilkan pemenang yang belum memiliki pendamping, dua paket bakal calon dari koalasi partai telah diformalkan (PBB-PKS dan PKB-PPP) sedangkan dua kekuatan masih bersikap wait and see terus meneropong. Keinginan dari beberapa partai yang belum menentukan sikap dalam posisi wait and see, ditambah lagi sulitnya menentukan figuritas terutama bagi partai/gabungan partai menyebabkan nominator-nominator dalam konvensi bisa saja dilirik untuk diusung memblunder sebagai bentuk kekuatan alternatif.

Sedangkan bagi kebutuhan publik, bagaimana perhelatan semacam ini dapat memberikan nilai edukasi dalam berdemokrasi. Meski suasana politik makin menghangat, harga-harga sembako mesti tetap dapat dikendalikan. Pelayanan pemerintahan senantiasa berlangsung normal, kendali keamanan berjalan pada track-nya. Ketika edukasi politik yang dipraktekkan partai politik maka publik serta merta menyimak kesungguhannya. Edukasi partai bukan hanya pada ranah kekuasaan semata melainkan cara berpemerintahan pada jalur yang sesungguhnya. Saatnya publik menjadi penentu di tengah cuaca dari “catatan” Badan Metereologi Geofisika berkata: tak menentu.#