17 Mei, 2009

Formasi Legislatif 2009

Mujaddid Muhas
Tabulasi Komisi Pemilihan Umum menyatakan bahwa Partai Demokrat menjadi jawara. Hasil ini mengkonfirmasi pengumuman quick count yang diselenggarakan oleh sejumlah pollster dengan angka yang tidak terpaut jauh dari yang sesungguhnya. Keunggulan Partai Demokrat pun telah diestimasi sebelumnya dari berbagai survei yang dilaksanakan secara berkala. Realitas menunjukkan 150 kursi diraih Partai Demokrat. Perolehan kursi paling dominan dari partai politik lainnya. Perkembangan ini kemudian makin menguatkan positioning Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kandidat incumbent pada pemilihan presiden mendatang. Kendati kandidat lain tentu masih berpeluang.

Sedangkan bagi parpol selain Partai Demokrat, tampaknya mengalami fluktuasi stagnan bahkan penurunan. Hope or nope. Antara harapan dan faktual, realitas perolehan inilah yang tergambarkan. Pemilih telah melaksanakan hak pilihnya dengan saksama.

Berdasarkan perolehan hasil pemilu legislatif, penulis mencoba membagi kedalam kategorial formasi kursi, dengan menganulir dahulu peta koalisi yang kini terkonsolidasi. Pertama, formasi kursi diatas 50 persen. Partai Golkar yang dalam pemilu 2004, memiliki 128 kursi (23,37 persen) menjadi 19,11 persen menempati 107 kursi. Adapun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengalami hal yang relatif sama: dari 19,82 persen setara 109 kursi menjadi 95 kursi atau 16,96 persen. Kendati demikian perolehan kursi dari kedua parpol tersebut terbilang sebagai parpol papan atas, berikut terutama Partai Demokrat yang mencapai 26,79 persen. Melampaui perolehan kursi pada pemilu 2004 sebesar 10,36 persen.
Kategori kedua pada formasi kursi dibawah 50 persen. Parpol-parpol yang termasuk dalam kategori ini adalah Partai Keadilan Sejahtera 57 kursi (10,18 persen), Partai Amanat Nasional 43 kursi (7,68 persen), Partai Persatuan Pembangunan 37 kursi (6,91 persen), Partai Kebangkitan Bangsa 27 kursi (4,82 persen) serta dua parpol baru yang cukup fenomenal Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Hati Nurani Rakyat yang masing-masing meraih 4,64 persen setara 26 kursi dan 18 kursi (3,21 persen). Sebagaimana terdapat dalam grafik.

Dari gambaran formasi kursi, diperoleh analisa bahwa adanya aturan parliamentary threshold menjadikan formasi kursi legislatif ditempati semakin sedikit parpol. Selain penyederhanaan sistem kepartaian, diasumsikan juga dapat mengisi penuh susunan komisi dari perwakilan fraksi. Ketika seluruh kursi yang diraih masing-masing parpol dapat menjadi masing-masing fraksi. Metamorfosa parpol terjadi di parlemen. Baik fraksi maupun komisi.

Satu Parpol Satu Fraksi
Sebegitu berbedanya terlihat pada pemilu 2004, parpol yang tidak cukup kursinya untuk takaran fraksi, bergabung dalam fraksi yang sama. Menyebabkan “penyesuaian” terhadap sikap fraksi untuk mengakomodasi kepentingan yang ada. Pentingnya melihat setiap parpol adalah representasi fraksi dilandasi oleh spirit untuk memudahkan pengejawantahan visi dan komitmen perjuangan masing-masing parpol. Memangkas perbedaaan prinsip tentang keputusan-keputusan strategis, sewaktu penyampaian sikap fraksi hanya karena visi kepartaian yang berbeda.

Memandang pentingnya satu parpol satu fraksi, dapat menumbuhkan budaya demokrasi yang berkarakter, sikap partai diejawantahkan kedalam sikap fraksi. Sedangkan sikap parpol berasal dari aspirasi dan kehendak publik. Dengan demikian tujuan-tujuan keseimbangan dalam demokrasi baik suara oposisi maupun suara pemerintah di parlemen menghasilkan format check and balances yang terukur dan berkesinambungan. Melalui satu parpol satu fraksi, publik dapat melihat dengan gamblang mana parpol yang sungguh-sungguh memperjuangkan visi dan komitmen kepartaiannya dan mana yang sebaliknya. Mana yang menyuarakan aspirasi mana yang hanya “mendaur ulang” pragmatisme.

Pemilu telah tiga kali diselenggarakan setelah reformasi, publik mendambakan budaya demokrasi yang lebih menampilkan suara aspiratif dan kinerja menjulang progresif. Penyederhanaan sistem kepartaian melalui PT telah dilakukan, tentu saja cemerlang ketika diikuti oleh kualitas legislator yang mumpuni. Lantaran “pengorbanan” terhadap konversi suara 29 parpol yang tidak memenuhi PT 2,5 persen, tidak bisa dianggap biasa. Legilslator pemilu 2009 adalah tolok ukur. 560 legislator yang berasal dari 77 daerah pemilihan senusantara merupakan akumulasi contrengan dari 121.588.366 pemilih. Bukan pula hal yang bisa diabaikan begitu saja.

Menuntaskan harapan atas kinerja progresif menandakan upaya terima kasih legislator terpilih sebagai respons balik terhadap kepercayaan publik yang dipundakkan kepadanya. Sebagaimana terminologi prinsip dasar demokrasi Abraham Lincoln (1809-1865), dikenal dengan Pidato Gettysburg (1863): dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hope or nope.

Kini, menyaksikan klaim elite-elite parpol menggunakan hasil pemilu legislatif untuk kepentingan bandul kekuasaan. Begitu gencar dengan manuver. Pragmatisme semacam demikian, mesti tidak harus senantiasa ada. Faktualnya: hope or nope. Diantara klaim dan keterpilihan.#