17 Juli, 2008

Postulat Pilkada NTB

MS. Ending, MA & Mujaddid Muhas*
Senin, tujuh Juli 2008 begitu berarti bagi masyarakat pemilih di Nusa Tenggara Barat yang kali perdana melakukan pemilihan secara langsung. Berbagai kreasi ditunjukkan dalam peran-peran mobilitas kampanye dalam 14 hari kampanye telah usai. Begitu pun hari jeda yang diformat sebagai hari penenangan dari segala atribut dan alat peraga. Dari tempat tinggalnya masyarakat datang bergantian, sebagian besar lengkap dengan kelompok keluarga yang mengemas agenda hari itu adalah hari penentuan pemimpin NTB. Semangat demokrasi di Bumigora juga ditunjukkan pula pada hari yang sama di Kabupaten Lombok Timur.

Tak lepas dari itu semua, para kandidat juga melakukan partisipasi memilih di sekitar tempat kediaman masing-masing. Datang, mengantre seperti kebanyakan orang, kemudian memilih. Prosedur demokrasi baik mengatur orang yang datang duluan di TPS mencoblos terlebih dahulu, kecuali jika ada kekeliruan. Estimasi angka partisipasi pemilih dalam pilkada, berdasarkan penelusuran Lembaga Survei Indonesia yang mengadakan penghitungan cepat sebesar 74.65 persen. Angka tersebut dapat dikatakan relatif masih besar jika dibandingkan pemilihan kepala daerah seperti Jakarta (66.6 persen), Jawa Barat (57.25 persen), dan Jawa Tengah (55 persen). Meretas asumsi yang selama ini berkembang: ada gejala partisipasi pilkada yang makin lama makin menurun.

Relatif besarnya angka partisipasi pemilih barangkali difaktori oleh beberapa hal sekaligus menjadi postulat antara lain: pertama, pilkada langsung provinsi dilakukan pertama kalinya dalam sejarah prosedur demokrasi memilih langsung pemimpin yang diinginkan masyarakat pemilih NTB. Berbagai kemeriahan yang ditunjukkan TPS-TPS memberikan indikasi bahwa semangat dalam berpartisipasi menentukan otonom pilihannya: cukup tinggi. Kedua, mekanisme teknis yang berada dalam kewenangan Komisi Pemilihan Umum NTB dan stackholder-nya berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun ada hal-hal yang menjadi kendala sekaligus keluhan dari masyarakat yang tidak sempat melakukan pencoblosan. Misalnya tidak memiliki kartu pemilih. Namun himbauan resmi tentang pencoblosan dapat dilakukan asalkan telah terdaftar dalam daftar pemilih sementara atau daftar pemilih tambahan, setidaknya dapat meminimalisir angka nirpartisipasi yang lebih banyak.

Ketiga, masyarakat pemilih telah makin sadar dengan hak-hak politiknya, tanpa harus mengeksekusi negatif yang tidak memilih. Tradisi memilih yang ditunjukkan boleh jadi dengan berbagai logika pikir bahwa masyarakat ingin menentukan pilihan secara otonom dan merdeka tanpa pengaruh dan intervensi orang lain. Boleh jadi pula menggunakan mekanisme pemilihan sebagai efek reward and funishment warga negara terhadap kandidat pemimpinnya. Selain itu, pola masyarakat yang cenderung partisipatif ada kalanya dipengaruhi oleh sistem sosial yang berkembang pada masyarakatnya.

Keempat, daya pikat terhadap paket kandidat dapat memberikan nilai partisipasi dari masyarakat untuk memilih di bilik suara. Ekspektasi yang begitu jibun dalam benak masyarakat pemilih teraktualisasi dalam sebutan-sebutan pilihan coblosan yang tertulis/tertempel pada saat penghitungan suara. Hal ini menunjukkan adanya keterikatan pemilih konstituen terhadap figuritas kandidat yang menjadi dambaannya. Dampaknya bagi masa depan demokrasi adalah positif. Demokrasi makin mekar sebagai “taman warna”. Sebab kata orang, bunga saja ketika satu warna, tempat mekarnya tak akan disebut sebagai taman. Maka dari itu demokrasi dimungkinkan mesti berwarna-warni. Otoritas internal diselesaikan dengan komunalitas internal, kewenangan eksternal digunakan untuk segenap kepentingan yang meluas penuh warna-warni. Keseimbangan pendulum politik pun tetap terjaga.

Unggul dan ulung
Spirit demokrasi telah ditunjukkan, pendulum politik yang terjaga senantiasa memiliki energi dalam upaya mengisi pemerintahan bagi paket kepemimpinan yang unggul. Merunut hasil penghitungan cepat dua lembaga yang melansir hitungan ilmiahnya. Paket pasangan BARU bernomor urut dua unggul dari tiga paket kandidat kompetitornya. LSI Saiful Mujani maupun Denny JA yaitu secara berurutan sebagai berikut paket kandidat NAJAR: 16.92;16.60 persen, BARU: 37.66;37.06 persen, SERIUS: 27.23;28.68 persen, ZANUR: 18.19;17.67 persen. Dengan simpul (sementara) ini tidak dapat digenaralisir sepenuhnya, hanya saja metodologi ilmiah yang kerap teruji dilakukan juga di berbagai daerah dapat memecah keingintahuan publik diawal-awal, seperti menjadi “standar baku”. Adapun keputusan, tetap bersandar pada penghitungan resmi KPU NTB yang diperkirakan 18 Juli 2008 final.

Jika memakai asumsi-asumsi paparan datatif di atas, memberikan pemaknaan. Pertama, suara masyarakat pemilih yang terpolarisasi kepada para paket kandidat, tidaklah terlampau jauh intervalnya. Artinya tiga paket kandidat kompetitor bisa juga dikatakan ulung hingga mendapatkan perolehan suara yang signifikan. Ketika melihat perolehan suara di TPS masing-masing & diprediksi tiga paket kandidat menang di salah satu kabupaten/kota, selebihnya dimenangkan oleh paket kandidat BARU. Hanya saja yang unggul tetap yang terbanyak perolehannya. Keulungan tiga kompetitor dan unggulnya paket pasangan BARU mengindikasikan NTB tidak kekurangan pemimpin!

Kedua, analisa tentang peluang adanya putaran kedua berpeluang tipis. Meskipun sekali lagi datatif hitungan cepat belum menunjukkan keuggulan yang bersifat final. Sebagaimana aturan perundang-undangan No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua UU. Pemerintahan Daerah, pasal 107 ayat (4): “Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, atau tidak ada yang mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang kedua”. Dengan argumentasi tersebut, peluang adanya putaran kedua tipis. Namun kembali, hitungan realitas KPU NTB yang akan menjadi penentu final.

NTB telah memilih. Janji dan komitmen yang terpatri dalam lembaran visi, mesti diejawantahkan bagi pemimpin terpilih. Menapaki waktu-waktu ke depan, masih harus terwarna. Manakala pendulum demokrasi tidak menemukan keseimbangannya, yang terjadi gejolak politik tak berkesudahan. Tentu saja masyarakat akan memundakkan harapan pada siapapun kepemimpinan NTB yang terpilih. Sejauh mana masyarakat NTB dapat memajukan kehidupannya melalui peran-peran pemerintah yang optimal selaras dengan komitmen yang telah terkampanyekan secara sistematis. Tidak untuk apatis, tidak pula terburu-buru bombastis, menuju Bumigora optimis.#

* Penulis adalah Koordinator & Sekretaris Eksekutif
Jaringan Pena Mataram. Email: penanet_mataram@plasa.com

01 Juli, 2008

Kampanye Popularitas & Vote Getter

Mujaddid Muhas
Hari-hari pemungutan suara kian dekat. Pemilihan paket kepala daerah di Nusa Tenggara Barat semakin seru dan kompetitif. Terutama tentu dirasakan oleh tim pemenangan masing-masing. Dengan memanfaatkan 14 hari waktu kampanye yang telah diatur sedemikian rupa oleh Komisi Pemilihan Umum NTB. Semua kandidat pada posisi siap menyelesaikan tahapan pilkada hingga usai. Sesiap tim kampanyenya melakukan penerangan sekaligus barangkali penerawangan.

Bagaimana kans dan peluang kandidat untuk unggul dalam pertarungan yang mengandalkan suara masyarakat pemilih Bumigora? Berbagai upaya ditempuh sehingga upaya tersebut diyakinkan dapat mencapai tujuan akhir: unggul dari paket kandidat lainnya. Dalam pandangan ilmiah, kampanye menjadi agenda penting dalam meraih preferensi masyarakat pemilih. Misalnya saja ada paket kandidat yang telah mendapatkan preferensi disuatu daerah maka dengan adanya kampanye, tim kampanyenya melakukan update kekuatan hingga dapat dikatakan sebagai basis.

Sedangkan bagi paket kandidat yang belum populer diminati masyarakat pemilih, adanya kampanye merupakan “waktu-waktu mustajab” untuk meraih simpatik dengan menawarkan program nyata dan kepedulian konkret sehingga aspirasi yang berkembang di masyarakat kemudian diakomodir dalam bentuk kebijakan populis pada masa pemerintahannya kelak.

Kendati masa kampanye hanya berdurasi dua pekan, namun masa kampanye tidak dapat dianggap enteng untuk dilupakan. Apalagi bagi masyarakat pemilih yang hingga kampanye akan berlangsung belum menentukan pilihan. Ditilik dari sisi tipologi/karakter pemilih (Firmanzah, 2007: 133). Pertama, pemilih rasional. Tipologi pemilih cenderung tinggi pada pemecahan masalah melalui program nyata dengan tingkat orientasi ideologi rendah. Misalnya ada pada pemilih perkotaan (urban). Artinya pemilahan isu dan pesan lebih diutamakan pada program konkret apa yang akan diungkapkan. Kedua, pemilih kritis. Karakter pemilih yang memiliki orientasi baik ideologis maupun program nyata tinggi. Oleh karena pada karakter ini pemilih melakukan penilaian matang kemudian memutuskan kepada siapa pilihan akan diputuskan. Biasanya terdapat pada pemilih dengan tingkat pendidikan diatas standar: perguruan tinggi.

Ketiga, pemilih skeptis merupakan sebaliknya dari pemilih kritis tetapi umumnya berjumlah banyak. Misalnya pada pemilih pedesaan yang jauh dari jangkauan sarana/prasarana atau masyarakat pemilih yang mengalami tingkat kesejahteraan dibawah rata-rata. Pemilih yang berada pada garis kemiskinan “absolut”. Saat ini nyata terlihat pada masyarakat yang menerima bantuan langsung tunai. Keempat, pemilih tradisional yaitu tipologi pemilih yang telah terbiasa dengan pilihan “semula” dan berlangsung lama dengan tingkat orientasi ideologi tinggi. Dapat disimak pada pilihan partai dalam pemilu. Pada dasarnya pemilih tradisional juga berpengaruh terhadap kecenderungan keyakinan yang berlangsung lawas sehingga menjadi basis-basis yang teridentifikasi sebagai basis “awet”.

Adu jajal strategi
Banyak cara dan metode yang telah tersimak dari lebih setengah perjalanan kampanye di Bumigora. Dari mulai tempat-tempat pelosok yang dikunjungi hingga area yang menyita perhatian publik seperti pasar, sawah, terminal, lapangan umum dan lainnya. Alat peraganya pun beragam: dari mulai spanduk dukungan, banner pengenalan pokok visi dan nomor, baliho penggugah kata dan motivasi memilih, sms center, komitmen pernyataan, kesaksian dari vote getters (pendulang suara) bahkan gambar-gambar ada yang bentuknya kecil-kecil seperti korek api. Begitu gampang dibawa dan didengung-dengungkan.

Semua medium kampanye yang dipakai dapat dianggap lumrah dan kreatif, selama tidak bertentangan dengan aturan dan tata laksana proses pilkada seperti provokasi isu sara dan black campaign,. Studi politik pencitraan popularitas sering disebut dengan political marketing. Upaya yang dilakukan dalam rangka menggugah masyarakat pemilih dengan menunjukkan kesungguhan serta meyakinkan masyarakat pemilih untuk memilih paket kandidat. Masing-masing kandidat dalam satu paket berbagi kerja serta menyosialisasikan keampuhan masing-masing yang berbaku-padu. Di sebuah daerah luar NTB malah ada paket kandidat yang mendermakan secara cuma-cuma helm bagi pengendara motor agar perjalanan menjadi aman dan nyaman serta taat aturan berpengguna jalan.


14 hari & vote getters
Dari paket kandidat yang telah populer dengan sebutan Najar, Baru, Serius, dan Zanur. Kesemuanya mendesain strategi dan adu jajal pemenangan dari tim kampanye masing-masing termasuk bagaimana memanfaatkan forum debat publik yang diadakan KPU NTB sebagai ajang optimal, ketika biasanya sebagian besar masyarakat pemilih menyaksikannya melalui siaran televisi yang telah menjangkau pelosok. Sedangkan pada kampanye yang sifatnya terbuka (monologis), memokuskan kampanye dengan melihat segmentasi pemilih yang berbeda-beda di suatu area bisa membantu kelancaran dan efektifitas pilihan informasi yang mengena terhadap masyarakat pemilih.

Misalnya saja ketika sebuah area sering mati lampu maka yang ditawarkan pada masa kampanye adalah soal kelancaran pasokan listrik yang merata. Selain itu, tak dapat dipungkiri kehadiran vote getters pada daerah yang masyarakat pemilihnya paternalistik dirasa ampuh mendulang suara. Dengan tujuan menjadi penyerap suara bahwa pilihan masyarakat pemilih cenderung mengikuti figur-figur yang telah lama ada. Vote getters kerap kali ditanyai oleh para pemilih yang rada-rada bingung menentukan pilihan. Dalam konteks inilah keberadaannya menjadi bagian faktor pendulang suara kecuali pada segmentasi masyarakat pemilih yang kritis dan rasional.

Kalau meminjam bahasa-bahasa gaul pemilih pemula dihubungkan dengan tajuk-tajuk film: 30 hari mencari cinta, dan tiga hari untuk selamanya, maka dalam pilkada untuk 14 hari masa kampanye mencari kemenangan dan satu hari pemungutan suara: tujuh juli untuk empat tahun 364 hari berikutnya. Masa 14 hari kampanye di tambah tiga hari jeda untuk mencoblos keesokan harinya merupakan momentum sejarah demokrasi Bumigora yang kali perdana memilih secara langsung. Masyarakat pemilih berhak memilih, sementara paket kandidat berkewajiban sungguh-sungguh membangun pesta demokrasi kekinian secara fair. Seperti yang ditunjukkan pada perhelatan memukau Sepakbola Euro 2008 hingga kita hampir kerap begadang karenanya.#