13 Februari, 2009

Meneropong Advertising Politik

Mujaddid Muhas
Survei popularitas partai yang diadakan Lembaga Survei Indonesia, menghasilkan dua hal menarik. Menempatkan Partai Gerakan Indonesia Raya pada peringkat menggembirakan. Berikutnya Partai Demokrat secara mengejutkan berada pada posisi teratas mengungguli dua partai politik yang telah lama mengakar: Partai Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Menggembirakan kiranya, disebabkan Gerindra bukanlah parpol yang telah lama menghiasi konstelasi politik kepartaian di tanah air. Meski Prabowo yang membidani lahirnya Gerindra adalah sosok yang relatif cemerlang pada masa dinasnya di kemiliteran. Pensiun dini pada korps militer, tak membuatnya kehilangan ekspresi politik. Kini melalui Gerindra, melangkah maju untuk disodorkan kepada masyarakat pemilih pada pemilihan umum 2009.

Dihampir semua stasiun televisi, advertising Gerindra yang terdiri dari sejumlah tampilan, hadir kehadapan pemirsa. Ada ajakan untuk membeli produk dalam negeri, memaklumkan potensi sumber daya alam Indonesia yang berlimpah, hingga memberikan persepsi optimis Indonesia dapat mandiri dan tumbuh bersatu, menjadi daya tariknya tersendiri. Jika pemilu diadakan pada saat survei dilaksanakan, temuan LSI menyatakan bahwa Gerindra berada pada posisi keenam dari parpol yang berkompetisi. Setidaknya, merupakan capaian yang menggembirakan: di posisi partai papan tengah.

Memupus kejemuan pemilih
Lantas, sedemikiankah gambaran persepsi masyarakat, dengan gencarnya iklan dapat memberikan preferensi signifikan? Meneropongnya, mengingatkan pada gencarnya pula advertising Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat sebelum pemilu dan pemilihan presiden tahun 2004. Catatan Kompas 10 Oktober 2008, menyatakan iklan politik berpengaruh besar terhadap perubahan suhu politik di masyarakat. Hasil survei dari Indonesian Research and Institute, menunjukkan iklan Partai Demokrat dan SBY berada di tingkat teratas iklan yang paling dipilih oleh responden dengan persentase 53,9 persen. Sementara persentase iklan politik berikutnya secara berurutan ditempati oleh Gerindra dan Prabowo sebesar 53,8 persen, Golkar dan Yusuf Kalla 43,8 persen, Soetrisno Bachir 41,5 persen, dan Rizal Mallarangeng 33,7 persen (Sindo, 3 November 2008). Bandingkan pada spesifikasi iklan Gerindra dan Prabowo, masih menurut temuan LSI: dari 62 persen responden yang sering melihat iklannya, 64 persen suka dengan tampilan iklan simpatik tersebut.

Advertising politik bagi sebagian besar pemirsa televisi yang juga sebagiannya diyakini menjadi pemilih, tentu saja mendapatkan suasana “lain” dari iklan produk konsumtif yang biasa bertebaran. Kendati demikian, ada pula yang masih pesimis bahwa advertising politik dapat secara instan mengenalkan sosok atau produk kepartaian. Mengapa Soetrisno Bachir, belum juga terangkat dan berada pada positioning yang melegakan? Pertanyaan ini mewakili argumentasi semacam itu. Kajian psikologi massa dan komunikasi politik mengabarkan bahwa setiap produk advertising dan substansi pesan yang dikelola untuk konsumsi publik tetap akan memberikan dampak. Hanya saja, seberapa besar impresi yang dihasilkan berkesesuaian pada psikologi dan keadaan publik yang menerima pesan advertising politik. Setidaknya hal ini dapat memupus kejemuan pemilih serta menyokong adanya harapan dari pemahaman realitas tentang demokrasi.

Impresi Iklan
Menjelang pemilu 2009, disinyalir akan banyak iklan politik bertebaran sebagaimana yang terlihat sekarang. Namun dapat dipastikan tidak semua iklan dapat menarik impresi masyarakat pemilih. Hal yang terpenting bagaimana pesan dan ajakan simpatik atas realitas yang mendera dapat dirasakan sebagaimana kondisi yang sesungguhnya. Iklan politik dapat saja menampilkan berbagai data yang menunjukkan keberhasilan kinerja sebagai pengukur kelembagaan. Apalagi kemudian didukung oleh kapasitas personal dari orang yang beriklan. Dari mulai iklan di area publik, media cetak, radio dan televisi.

Beberapa yang sederhana namun unik dari pantauan penulis di seputar jalan raya Lombok Tengah. Sebagai contoh saja, ada parpol yang memajang singkatan nama partai. PKS: “Pilihan Kita Semua”, PBR: “Pilihan Bersama Rakyat” dan lain sebagainya. Bahkan penulis pernah berkelakar kepada seseorang di Partai Golkar yang mendapatkan nomor urut empat pada pencalonannya. Mungkinkah dalam penyosialisasiannya kepada konstituen menggunakan angka “234”, yang boleh jadi lebih memudahkan komunikasinya. Dilain hal ada calon legislator dari Partai Amanat Nasional: dengan “999”. Dapat bermakna tanggal sembilan memilih parpol bernomor urut sembilan serta menyentang calon urut nomor sembilan. Sekali lagi ini suatu permisalan semata. Inovasi politik lewat iklan diharapkan dapat memberikan impresi bagi masyarakat pemilih.

Area niriklan
Bagi parpol yang telah lama mengakar pada basis-basis area tertentu, tentu saja iklan bagi konstituen tidaklah begitu memengaruhinya. Barangkali disebabkan pola interaksi antarparpol atau figur parpol dengan masyarakat konstituennya terjalin dengan baik. Pada ranah demikian, iklan bermakna sia-sia. Biasanya basis-basis parpol tersebut dipengaruhi oleh kesejarahan yang berlangsung lama dan bersifat ideologikal atau semacam telah membangun sistem kekerabatan atau program kemasyarakatan. Parpol berganti nomor, berubah gambar, namun pilihan dijatuhkan hanya kepada parpol yang telah memberikan guna bagi konstituen. Dari sisi ini teralamatkan pada Masyumi dan variannya, Marhaen dengan berbagai ragamnya serta parpol yang menjadi pemenang pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Parpol atau orang-orang yang membantu pengelolaan manajemen kepartaian memerlukan identifikasi basis-basis pilihan atau setidaknya mengetahui sejauh mana potensi layak untuk dikelola intensif. Mana wilayah advertising, bahkan manakah kompetitor parpol yang berpotensi menjadi pendulang suara. Formula umum dari premis iklan adalah semakin dekat hari pemilihan, maka semakin intens sosialisasi dilakukan sesuai prosedur dan tata laksana aturan. Ketika telah begini, advertising politik memberikan dampak adanya pemekaran kreatifitas bagi ahli desain grafis untuk berkiprah. Ringkasnya: ada potensi desentralisasi desain grafis! Gemilang untuk desainer grafis, menjemput prosedural demokrasi yang terus berlangsung.#